Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai
pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih
adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari,
memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan
melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak
berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka
masing-masing, sehinggamujtahid mustaqill (mujtahid
mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka
ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama
fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip
yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani
melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta’assub
al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap
satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab
imamnya.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode
ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan
tersebut.
·
Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk
menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh
yang disetujui khalifah saja.
·
Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan(kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan
murid imam mazhab.
·
Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing
mazhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan
buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad
terhenti. Ulama mazhab tidak perlu lagi melakukan ijtihad, sebagaimana yang
dilakukan oleh para imam mereka, tetapi mencukupkan diri dalam menjawab
berbagai persoalan dengan merujuk pada kitab mazhab masing-masing. Dari sini
muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan
lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq.
Persaingan antar pengikut mazhab
semakin tajam, sehingga subjektivitas mazhab lebih menonjol dibandingkan sikap
ilmiah dalam menyelesaikan suatu persoalan. Sikap ini amat jauh berbeda dengan
sikap yang ditunjukkan oleh masing-masing imam mazhab, karena sebagaimana yang
tercatat dalam sejarah para imam mazhab tidak menginginkan seorang pun
mentaqlidkan mereka. Sekalipun ada upaya ijtihad yang dilakukan ketika itu,
namun lebih banyak berbentuk tarjih (menguatkan)
pendapat yang ada dalam mazhab masing-masing. Akibat lain dari perkembangan ini
adalah semakin banyak buku yang bersifat sebagai komentar, penjelasan dan
ulasan terhadap buku yang ditulis sebelumnya dalam masing-masing mazhab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar